Budaya Politik
Standar Kompetensi:
Kompetensi Dasar:
1.1
Mendeskripsikan pengertian budaya politik.
1.2
Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat
Indonesia.
1.3
Mendeskripisikan pentingnya sosialisasi pengembangan budaya politik.
1.4
Menampilkan peran serta budaya politik partisipan
|
- A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dalam
masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia
dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan
manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia
tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan
papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan
eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian
upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik
tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam
kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik
yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak
langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang
peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang
tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan
bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah,
dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan
membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik
perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita
bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga
negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian
dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya
politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan
kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara,
serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia
keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara
luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik
dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber
masyarakat.
- B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
- 1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum
dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O’G
Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara
kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai
suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka
ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam
sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus
menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka
menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka
dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka
miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat
dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa
pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih
memahami secara teoritis sebagai berikut :
- Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
- Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
- Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
- Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di
atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua
tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang
bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem
politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah
individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek
individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena
dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi
individual.
- 2. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik
yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang
budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh,
tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap
dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan
pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
- a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah
pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang
dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
- b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem
kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan
suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
- c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan
yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang
berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
- d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat
pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara
bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
- e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap,
keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga
kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu
dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian
tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik
beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan
aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada
berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai
dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel
A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah
sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah
sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah
sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari
pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik,
yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan
fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda
terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam
tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan
dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap
lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang
menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam
jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah,
bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya
politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki
peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Dengan memahami pengertian budaya
politik, kita akan memperoleh paling tidak dua manfaat, yakni :
- Sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan-tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu;
- Dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat dimengerti.
- 3. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A.
Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik
merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan
ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua
komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive
orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations).
Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada
apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi,
bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan
pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para
aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan.
Dengan menggunakan ketiga komponen
orientasi tersebut, tentu saja kita dapat mengukur bagaimana sikap individu
atau masyarakat terhadap sistem politik sebagai berikut.
Komponen Obyek Politik
|
||
Komponen Kognitif
|
Komponen Afektif
|
Komponen Evaluatif
|
Kita dapat menilai tingkat
pengetahuan seseorang me-ngenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh peme-rintahan,
kebijaksanaan yang mereka ambil, atau menge-nai simbol-simbol yang di-miliki
oleh sistem politiknya.
|
Akan berbicara tentang aspek
pera-saan seorang warga negara terha-dap aspek-aspek sistem politik ter-tentu
yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu secara
keseluruhan. Keluarga dan lingkungan hidup seseorang, pada umumnya
berpe-ngaruh terhadap pembentukan perasaan individu yang bersang-kutan
terhadap aspek-aspek sistem politik.
|
Orientasi politik diten-tukan oleh
evaluasi moral yang memang telah dipunyai seseorang
|
Perlu disadari bahwa dalam realitas
kehidupan, ketiga komponen ini tidak terpilah-pilah tetapi saling terkait atau
sekurang-kurangnya saling mempengaruhi. Semisal seorang warga negara dalam
melakukan penilaian terhadap seorang pemimpin, ia harus mempunyai pengetahuan
yang memadai tentang si pemimpin. Pengetahuan itu tentu saja sudah dipengaruhi,
diwarnai atau dibentuk oleh perasaannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan orang
tersebut tentang suatu simbol politik, misalnya, dapat pula membentuk atau
mewarnai perasaannya terhadap simbol politik itu. Boleh jadi, pengetahuan
tentang suatu simbol sering mempengaruhi perasaan seseorang terhadap sistem
politik secara keseluruhan.
Karena hakekat kebudayaan politik
suatu masyarakat terdiri dari sistem kepercayaan yang sifatnya empiris,
simbol-simbol yang ekspresif, dan sejumlah nilai yang membatasi
tindakan-tindakan politik, maka kebudayaan politik selalu menyediakan arah dan
orientasi subyektif bagi politik. Karena kebudayaan politik hanya merupakan
salah satu aspek dari kehidupan politik, maka jika kita ingin mendapatkan
gambaran dan ciri politik suatu bangsa secara bulat dan utuh, maka kitapun
dituntut melakukan penelaahan terhadap sisinya yang lain.
Hakekat atau ciri-ciri pokok dari
budaya politik menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai adalah
prinsip-prinsip dasar yang melandasi doktrin atau suatu pandangan hidup.
Nilai-nilai yang dimaksud ini berhubungan dengan masalah tujuan, seperti
nilai-nilai pragmatis atau utopis. Almond dan Powell mencatat,
bahwa aspek lain yang menentukan orientasi politik seseorang, adalah hal-hal
yang berkaitan dengan “rasa percaya” (trust dan “permusuhan” (hostility),
perasaan ini dalam realistas.
Konsep kebudayaan politik yang
pertama kali dikenalkan oleh Gabriel A Alomnd, guna mengidentifikasi
orientasi dari tingkah laku politik masyarakat. Dalam bukunya The Civic
Culture (1963), Almond mengatakan bahwa masyarakat mengidentifikasi
dirinya terhadap simbol-simbol dan lembaga-lembaga kenegaraan berdasarkan
orientasi yang dimilikinya. Kebudayaan politik, meliputi sikap-sikap dari warga
negara terhadap pemerintahan dan politiknya. Untuk menilai dan memperbandingkan
kebudayaan politik, Almond mengajukan ukuran-ukuran : identitas nasional,
kesadaran kelas, motivasi berprestasi, keyakinan akan kebebasan dan persamaan,
efektivitas politik dan kepercayaan kepada pemerintah. Sebagai ilustrasi dapat
kiranya dikemukakan, bahwa kegiatan politik seseorang pada dasarnya tidak hanya
ditentukan oleh tujuan-tujuan yang didambakannya, tetapi juga harapan-harapan
politik yang dimilikinya serta pandangannya mengenai situasi politik itu
sendiri.
Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan politik sebagai
pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat dalam arti
luas. Hal ini terjadi melalui proses sosialisasi politik agar masyarakat
mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai politik tertentu yang
dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku politik mereka sehari-hari. Adapun
nilai-nilai politik yang terbentuk dalam diri seseorang biasanya berkaitan erat
dengan atau bagian dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu, seperti
nilai-nilai sosial budaya dan agama.
Lain halnya dengan Mar’at,
yang menetapkan bahwa sikap – suatu kecenderungan berperilaku – adalah produk
dari proses sosialisasi yang banyak ditentukan oleh faktor budaya. Proses
pembentukan sikap politik yang pada gilirannya berupa perilaku yang diperoleh
melalui sosialisasi politik, tak pernah hadir dikehampaan budaya. Boleh jadi,
budaya politik adalah pola perilaku seseorang atau sekelompok orang yang
dipengaruhi faktor eksternal seperti situasi lingkungan maupun faktor internal
seperti : kebutuhan, SINA (Sistem Nilai dan Asumsi) dan SKSM (Sistem Koordinasi
Sensor Motorik) yang orientasinya berkisar pada situasi kehidupan politik yang
sedang berlaku, bagaimana tujuan-tujuan yang didambakan oleh sistem politik itu
sendiri, serta harapan-harapan politik apa dimilikinya, biasanya akan
bercampurbaur dengan prestasi di bidang peradaban.
Menurut ahli psikologi sosial,
bahwa nilai-nilai kebiasaan dalam suatu masyarakat, termasuk didalamnya
nilai-nilai politik, senantiasa mengalami proses transformasi, pemahaman dan
internalisasi ke dalam individu melalui tiga mekanisme utama, yakni asosiasi,
peneguhan dan imitasi. Di mana nilai-nilai politik diserap lewat pengasosiasian
antara fenomena yang satu dengan lainnya atau melalui peneguhan dan nimitasi,
di mana tingah laku para aktor politik penting ditiru, sebagai bagian dari
perilaku masyarakat.
- C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
- 1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem
ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan
modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap
orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap
”militan” atau sifat ”tolerasi”.
- Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan
tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang
sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah
kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang
mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
- Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat
pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar
yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis
terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat
bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan
menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama.
Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama.
Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
- a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap
mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu
sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi
dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan
perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang
hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang
bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap
tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi
selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang
absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
- b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat
akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga.
Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia
menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik
sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan
baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan.
Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik
melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan
mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
- 2. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya
politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang
dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem
politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam
tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik
yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang
berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya
politik sebagai berikut :
- Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
- Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
- Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak
menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari
ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di
dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
|
3.
|
Partisipan
|
|
Kondisi masyarakat dalam budaya
politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan
memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan
terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut.
Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan
publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan
diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan
yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan
lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya
harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat
kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat
efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya
kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka
merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya
keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu
yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)
antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini
merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan.
Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai
warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi
keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti
berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya
dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa
tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang
dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga
negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila
mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga
memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga
sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar
terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang
didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara
dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan
lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka
tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik,
pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan
masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga
mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk
berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan
politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik.
Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam
budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan
perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam
masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan
Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada
satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau
subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe
tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam
tiga bentuk budaya politik, yaitu :
- Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
- Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
- Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau
bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan
politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini cukup banyak
aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan
kehadiran pemberian suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan
modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan
politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif
menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya
menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini hanya terdapat
sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam
peme-rintahan
|
Pola kepemimpinan sebagai bagian
dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara
berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya
dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut
tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak
diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia
menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula
elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka
elite itu sedang mengembangkan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak
mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan
disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik
bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama
yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut
merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan
dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan
suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu
sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya
politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong
atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada
kebijaksanaan para elite politik.
D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA
POLITIK
- 1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah
satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara
manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator
dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan
orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik,
sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana
seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi
pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik,
merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha
saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman
politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu
membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima
rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara
berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah
proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai,
dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak
menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini
mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap
legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan,
tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak
ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem
politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu
dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin
yang dihasilkan stagnasi
- 2. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan
mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan
terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya politik,
sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat
perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama.
Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para
ahli.
- David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization”
Sosialisasi politik adalah pola-pola
mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada
individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan),
motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang
sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan)
sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus
terus dipelajari.
- Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada
proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh
atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan
patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi
berikutnya.
- Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap
proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran
potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang
dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima
olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang
sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan
politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya
kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah
komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu
yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar
Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu
proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang
politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik
sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat,
sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung
dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari
penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung
sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah
kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu
proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa
pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai
atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung
dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau
kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini
nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting
sosialisasi politik, sebagai berikut.
- Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas,
menurut Michael Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang
berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses
pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara
sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai
pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk
menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu
memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial;
menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan
tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa
yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua
variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian
akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu,
lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah
fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup
tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang
dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting
dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada
anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem
pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai
pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati menyebarkan
ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa
satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi, merupakan hasil
eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak
bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti
“menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada
perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari
sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik
dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan
terhadap tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada
satupun di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi
terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat
kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa
sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun
secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap
pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang
menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa
sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu dapat
memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem
politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja
menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju
pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan
sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin
saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis
terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
- 3. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik
diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert
Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada
usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari
belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti “keterikatan
kepada sekolah-sekolah mereka“, bahwa mereka berdiam di suatu daerah
tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva,
kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol
otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia
sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak,
seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara
dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi
politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak
mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama
bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton
dan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi
politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
- Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
- Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah
dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh
berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
- Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
- Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses
dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi
pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai
perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi)
nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga.
Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan”
politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer
pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics
education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar
informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung
nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah
memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan
nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai
politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti
partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya
secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan
norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus
mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat
dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif,
proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang
telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya:
kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi
dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama
dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku
Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan
pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif. Anak dari
masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka masing-masing.
- 4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik
dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan
dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah
dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan
yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal
Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material,
tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga
dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine,
terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada
masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan pendidikan.
- Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
- Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
- 5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang
bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan
lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan
dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin
terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin
besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin
tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter
sifat perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari
sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond
dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national)
mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa
masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman,
Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan
Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh
suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan
yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan
orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris
memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka.
Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak
terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya.
Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi
peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran
antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep
kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik
dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak
aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di
Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres,
dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik
dari masyarakat.
- 6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman
merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar
secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang
manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman
si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan
komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu
masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi
politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat
yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas
komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara,
fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha
mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan
terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang
dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G.
A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi
politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti
pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada
masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan
masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga
berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut
pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem
masyarakat yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik
merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh
sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap
mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan
terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil
proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang
mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim
terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.
Berikut adalah bagan terbentuknya
sikap politik (political attitude) melalui proses sosialisasi politik.
Dalam proses sosialisasi politik
kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan
struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu
sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok
sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela,
media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat
berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan,
relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses
tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes)
dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
|
Sosialisasi Politik Laten
|
Berlangsung dalam bentuk transmisi
informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem
politik.
|
Dalam bentuk transmisi informasi,
nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem
sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran,
input dan output sistem politik yang analog (adanya persamaan).
|
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan
besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima
oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di
kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa
(radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu,
pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi
yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini
memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara
kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari
kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah
maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif
homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber
informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang
ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua
kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa
yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau
orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap
para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui
tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
- E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
- 1. Pengertian Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik
tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada
dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan
struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok
kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini
merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik
(partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya
keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi
bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan
politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi
dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara
atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner,
terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam
proses politik, yaitu sebagai berikut :
- Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
- Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
- Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
- Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
- Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
- 2. Konsep Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya
konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang
partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi
begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)
dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi
politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada
umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya apa
yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ?
apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ?
apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan
ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan
tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab
berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang
secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep
partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
|
Konsep
|
Indikator
|
Kevin R. Hardwick
|
Partisipasi politik memberi
perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga
negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap
pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan
tersebut.
|
|
Miriam Budiardjo
|
Partisipasi politik adalah
kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam
kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
|
|
Ramlan Surbakti
|
Partisipasi politik ialah
keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut
atau mempengaruhi hidupnya.Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga
negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
|
|
Michael Rush dan Philip Althoft
|
Partisipasi politik adalah
keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem
politik.
|
|
Huntington dan Nelson
|
Partisipasi politik … kegiatan
warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi
pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
|
|
Herbert McClosky
|
Partisipasi politik adalah
kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung
atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
|
|
Berdasarkan beberapa defenisi
konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik
tersebut, secara substansial menyatakan bahwa setiap partisipasi politik yang
dilakukan termanifestasikan dalam kegiatan-kegiatan sukarela yang nyata
dilakukan, atau tidak menekankan pada sikap-sikap. Kegiatan partisipasi politik
dilakukan oleh warga negara preman atau masyarakat biasa, sehingga seolah-olah menutup
kemungkinan bagi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh non-warga negara
biasa.
Untuk menggolongkan sebuah aktivis
politik tertentu dikatakan sebagai partisipasi politik atau bukan, Huntington
dan Nelson, serta Ramlan Surbakti memberikan beberapa batasan
atau “rambu-rambu” dalam penggunaan konsep partisipasi politik dalam beberapa
aspek defenisi inti sebagai berikut :
Pertama : ia mencakup kegiatan-kegiatan (perilaku politik
yang nyata) akan tetapi tidak sikap sikap.
Kedua : yang menjadi perhatian adalah kegiatan politik warga
negara preman, atau lebih tepat lagi, perorangan-perorangan dalam peranan
mereka sebagai warga negara preman. Dengan demikian terdapat garis antara
partisipasi-partisipasi politik dan orang-orang profesional dibidang politik
(pejabat-pejabat pemerintahan, pejabat-pejabat partai politik, calon-calon
politik, dan lobbyist profesional yang bertindak dalam peranan-peranan
tersebut).
Ketiga : yang menjadi pokok perhatian hanyalah
kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Kegiatan yang demikian difokuskan terhadap pejabat-pejabat umum,
mereka yang pada umumnya diakui mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan
dan yang final mengenai pengalokasian nilai-nilai secara otoritatif didalam
masyarakat.
Keempat : defenisi kami mencakup semua kegiatan yang dimaksudkan
untuk mempengaruhi pemerintah, tak peduli apakah kegiatan itu benar-benar
mempunyai efek itu. (tidak tergantung dari berhasil atau tidaknya kegiatan
partisipasi politik).
Kelima : kami mendefenisikan partisipasi politik sebagai mencakup
tidak hanya kegiatan yang oleh pelakunya sendiri dimaksudkan untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang
lain diluar di pelaku dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah. Yang pertama dapat dinamakan partisipasi otonom, yang
terakhir partisipasi yang dimobilisasikan.
Ramlan Surbakti mengemukakan rambu-rambu konsep partisipasi politik sebagai
berikut :
Pertama : partisipasi politik yang dimaksudkan berupa kegiatan atau
perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku
dalam yang berupa sikap dan orientasi.
Kedua : kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah
selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. Termasuk ke dalam pengertian
ini, seperti kegiatanmengajukan altenatif kebijakan umum, alternatif pembuat
dan pelaksana keputusan politik, dan kegiatan mendukung ataupun menentang
keputusan politik yang dibuat pemerintah.
Ketiga : kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal
mempengaruhi pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik.
Keempat : kegiatan mempengaruhi pemerintah bisa dilakukan
secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Kelima : kegiatan mempengaruh pemerintah bisa dilakukan
melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tak berupa kekerasan (nonviolence)
seperti ikut memilih dalam pemilihan umum, mengajukan petisi, melakukan
kontak tatap muka, dan menulis surat, maupun dengan cara-cara diluar prosedur
yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence),
seperti demonstrasi (unjuk-rasa) pembangkangan halus (seperti lebih memilih
kotak kosong dari pada memilih calon yang disodorkan pemerintah), huru-hara,
mogok, pembangkangan sipil, serangan bersenjata, dan gerakan-gerakan politik
seperti kudeta dan revolusi.
Berdasarkan beberapa batasan ini,
tampaknya kita akan lebih jelas lagi berbicara konsep partisipasi politik. Hal
ini perlu dikemukakan karena dalam praktik terkadang muncul penggunaan konsep
ini yang disamakan dengan konsep perilaku politik, padahal keduanya memiliki
pemahaman yang berbeda.
- Praktik Partisipasi Politik
Dalam tataran praktis, partisipasi
politik bisa muncul dalam beberapa bentuk. Setiap bentuk-bentuk partisipasi
politik akan berisikan gaya, tuntunan, pelaku dan sampai pada tindakan-tindakan
yang dilakukan warga negara dalam konteks politik. Selain itu juga
berkanaan denganjumlah orang yang terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi
politik, tidak harus selalu dilakukan oleh sekelompok orang, tetapi bisa juga
dilakukan oleh hanya satu orang.
Berdasarkan riset-riset tentang
partisipasi politik yang dilakukan di beberapa negara, Huntington dan Nelson
menemukan lima bentuk kegiatan utama yang dipraktikan dalam partisipasi
politik. Bentuk-bentuk ini masing-masing memiliki tindakan dan pelaku yang
berbeda, namun tetap memliki tujuan yang sama, yaitu berkenaan dengan
keikutsertaan warga negara untuk mempengatuhi proses-proses politik.
Bentuk-bentuk itu diantaranya :
- Kegiatan Pemilihan, mencakup memberikan suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukunagn bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan.
- Lobbying, mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik, dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
- Kegiatan Organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi, yang tujuannya yang utama dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.
- Mencari Koneksi (contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah, dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang.
- Tindakan Kekerasan (violence), … sebagai upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda. … kekerasan dapat ditujukan untuk mengubah pimpinan politik (kudeta, pembunuhan), mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah (huru-hara, pemberontakan), atau mengubah seluruh sistem politik (revolusi).
Ditingkat individu, secara lebih
spesifik Milbrarth M.L. Goel mengidentifikasi tujuh bentuk partisipasi
politik individual :
No
|
Bentuk Partisipasi
|
Keterangan
|
1.
|
Aphatetic Inactuves
|
Tidak beraktifitas yang
partisipatif, tidak pernah memilih.
|
2.
|
Passive Supporters
|
Memilih secara reguler/teratur,
menghadiri parade patriatik, membayar seluruh pajak, “mencintai negara”.
|
3.
|
Contact Specialist
|
Pejabat penghubung lokal (daerah),
propinsi dan nasional dalam masalah-masalah tertentu.
|
4.
|
Communicators
|
Mengikuti informasi-informasi
politik, terlibat dalam diskusi-diskusi, menulis surat pada editor surat
kabar, mengirim pesan-pesan dukungan dan protes terhadap pemimpin-pemimpin
politik.
|
5.
|
Party and campign workers
|
Bekerja untuk partai politik atau
kandidat, meyakinkan orang lain tentang bagaimana memilih, menghadiri
pertemuan-pertemuan, menyumbang uang pada partai politik atau kandidat,
bergabung dan mendukung partai politik, dipilih jadi kandidat partai politik.
|
6.
|
Community activitis
|
bekerja dengan orang lain
berkaitan dengan masalah-masalah lokal, membentuk kelompok untuk menangani
problem-problem lokal, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi
kemasyara-katan, melakukan kontak terhadap pejabat-pejabat berkenan dengan
isu-isu sosial.
|
7.
|
Protesters
|
Bergabung dengan
demonstrasi-demonstrasi publik di jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu,
melakukan protes keras bila pemerintah melakukan sesuatu yang salah,
menghadapi pertemuan-pertemuan protes, menolak mematuhi aturan-aturan.
|
Dari berbagai aktivitas-aktivitas
ini, kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi politik. Dari
hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang
mengedepankan kondisi damai sampai tindakan-tindakan kekerasan. Namun seluruh
aktivitas ini termasuk dalam kerangka partisipasi politik, setiap tindakan yang
berhadapan dengan pembuat dan pelaksana kebijakan, dan partisipan terlibat
untuk mempengaruhi jalannya proses tersebut agar sesuai kepentingan dan
aspirasinya.
- Tingkatan Partisipasi Politik
Identifikasi bentuk-bentuk kegiatan
partisipasi politik, ternyata tidak cukup untuk menjelaskan bobot dari
masing-masing kegiatan tersebut. Hal ini dibutuhkan guna menjelaskan
keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam bentuk-bentuk praktik
partisipasi politik, bisa diukur dari segi efektivitasnya. Hal ini berkenaan
dengan defenisi inti seperti yang dikemukakan Huntington dan Nelson,
yaitu berkenaan dengan pengaruh kegiatan partisipasi politik terhadap proses
politik yang dilakukan pemerintah.
Untuk menganalisis tingkat-tingkat
partisipasi politik, mereka mengajukan dua kriteria penjelas. Pertama, dilihat
dari ruang lingkup atau proporsi dari suatu kategori warga negara yang
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan partisipasi politik. Kedua,
intensitasnya, atau ukuran, lamanya, dan arti penting dari kegiatan khusus itu
bagi sistem politik
Hubungan antara dua kriteria ini,
cenderung diwujudkan dalam hubungan “berbanding balik”. Lingkup partisipasi
politik yang besar biasanya terjadi dalam intensitas yang kecil atau rendah,
misal partisipasi dalam pemilihan umum. Sebaliknya jika lingkup partisipasi
politik rendah atau kecil, maka intensitasnya semakin tinggi. Contoh, kegiatan
aktivis-atktivis partai politik, pejabat partai politik, kelompok-kelompok
penekan. Jadi dalam hal ini, terjadi hubungan, “semakin luas ruang lingkup
partisipasi politik maka semakin rendah atau kecil intensitasnya, dan
sebaliknya semakin kecil ruang lingkup partisipasi politik, maka intensitasnya
semakin tinggi”.
Perhatikanlah bentuk piramida
partisipasi politik berikut ini.
Gambar
Piramida Partisipasi Politik
Berdasarkan piramida partisipasi
politik bisa ditemukan kriteria tingkatan partisipasi politik seperti yang
dikemukakan Huntington dan Nelson, memiliki kesesuaian. Semakin
tinggi tingkat partisipasi politik, semakin tinggi tingkat intensitasnya, dan
semakin kecil luas cakupannya. Sebaliknya, semakin menuju ke bawah, maka
semakin besar lingkup partisipasi politik, dan semakin kecil intensitasnya.
Untuk lebih bisa memahami, perhatikan penjelasan berikut :
No
|
Tingkatan Partisipasi
|
Keterangan
|
1.
|
Kategori Pengamat
|
Seperti menghadiri rapat umum,
memberikan suara dalam pemilu, menjadi anggota kelompok kepentingan,
mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik, dan usaha
meyakinkan orang lain, merupakan contoh-contoh kegiatan yang banyak dilakukan
oleh warga negara, artinya proporsi atau lingkup jumlah orang yang terlibat
di dalamnya tinggi.
Terutama kalau dikaitkan dengan
arti pentingnya bagi sistem politik, praktik-praktik tersebut tingkat
hubungannya rendah, atau tingkat efektivitasnya dalam mempengaruhi kebijakan
yang dibuat pemerintah, membutuhkan waktu dan sumber daya yang cukup banyak
|
2.
|
Kategori Aktivis
|
Jumlahnya terbatas, hanya
diperuntukkan bagi sejumlah kecil orang (terutama elite politik), yang
memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses politik dengan mekanisme dan
kekuatan pengaruh seperti ini. Kegiatan yang dilakukan, bukan saja ditempuh
dengan cara-cara formal-prosedural atau mengikuti aturan yang ditetapkan. Hal
ini dikarenakan terdapat juga warga negara yang berupaya mempengaruhi proses
politik, dengan cara-cara non-formal, tidak mengikuti jalur yang ditetapkan
secara hukum, bahkan sampai pada tindakan kekerasan. Tindakan yang dilakukan
bisa berupa pembunuhan, tindakan-tindakan terorisme nasional dan
internasional, dan pembajakan
Mereka yang memiliki intensitas
tinggi dalam partisipasi politik, adalah para pejabat umum, pejabat partai
penuh waktu, dan pimpinan kelompok kepentingan. Mereka memiliki akses yang
cukup kuat untuk melakukan hubungan “pribadi” dengan pejabat-pejabat
pemerintah, sehingga upaya-upaya untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan
pemerintah menjadi efektif. Terutama bagi pejabat umum, secara politis mereka
memiliki peluang yang cukup kuat dalam mempengaruhi kebijakan publik yang
dibuat pemerintah, bahkan secara individual bisa mempengaruhi secara
langsung.
Kalau dilihat secara objektif,
praktik-praktik ini meskipun ilegal namun memiliki intensitas atau daya
pengaruh yang cukup kuat agar bisa diperhatikan pemerintah dengan serius,
sekaligus sebagai tekanan agar kebijakan-kebijakan pemerintah (tertentu)
menguntungkan kelompok-kelompok yang menggunakan cara-cara tersebut. Ruang
lingkup partisipasinya rendah, karena jumlah orang yang terlibat
praktik-praktik ini terbatas.
|
Seperti halnya yang dikemukakan Huntington
dan Nelson, Rush dan Althoff menyatakan bahwa hierarki
yang terdapat partisipasi politik, yaitu tergantung dari akibat yang
disebabkannya terhadap sistem politik. Tingkatan-tingkatan khusus menyebabkan
akibat besar pada suatu sistem politik, dan akibat kecil atau tanpa mempunyai
akibat apapun pada sistem lainnya. Tingkatan partisipasi politik ini
disampaikan sebagai berikut :
- Menduduki jabatan politik atau administratif
- Mencari jabatan politik atau administratif
- Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
- Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
- Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
- Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik (quasi-political)
- Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dan sebagainya
- Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam bidang politik
- Voting (pemberian suara)
Tingkatan partisipasi politik ini
mencerminkan kapasistas partisipan dalam berpartisipasi politik. Semakin tinggi
tingkatan yang ditempati oleh seseorang atau sekelompok orang, maka semakin
tinggi pula tingkatan partisipasi politiknya. Namun tidak demikian dengan
lingkup partisipasi politiknya, semakin tinggi malah semakin sedikit, artinya
semakin mengerucut pada jumlah tertentu.
Voting merupakan tingkatan partisipasi politik terendah, yang
membedakan satu tingkat di atas orang yang apatis total, sementara di atasnya
terdapat orang atau sekelompok orang yang sering terlibat dalam diskusi-diskusi
politik informal, yang dalam lingkup atau proporsinya lebih rendah, namun
intensitasnya lebih tinggi. Posisi puncak diduduki oleh warga negara yang
menduduki jabatan politik atau administratif, mereka terseleksi dengan cukup
ketat sehingga jumlahnya relatif sedikit, namun memiliki posisi yang cukup kuat
untuk terlibat lebih jauh dalam proses-proses politik dan aktivitas-aktivitas
tersebut memiliki akibat yang cukup kuat terhadap sistem politik.
Meskipun terdapat kesamaan dengan
apa yang dikemukakan sebelumnya oleh Huntington dan Nelson,
ternyata terdapat beberapa perbedaan dalam hal tingkat partisipasi politik yang
dikemukakan Rush dan Althoff, adalah sebagai berikut :
Pertama : mereka menegaskan bahwa partisipasi pada suatu
tingkatan yang lebih tinggi, walaupun hal ini berlaku bagi tipe-tipe
partisipasi tertentu. Jadi, warga negara yang berpartisipasi memiliki
kesempatan untuk melakukan “lompatan partisipasi politik” dari tingkat terendah
langsung ke tingkat menengah, dan langsung ke tingkat tertinggi, tanpa
mengikuti prosedur-prosedur formal yang penuh dengan persyaratan-persyaratan
bagi kenaikan tingkat. Meskipun demikian, tetap terdapat setidaknya prosedur
kenaikan tingkat. Meskipun demikian, tetap terdapat setidaknya prosedur
kenaikan tingkat partisipasi politik, yang tergantung dari intensitas dan
lingkup partisipasinya, terutama bila aktif dalam organisasi politik dan semu
politik. Misal, SI A pada awalnya hanya terlibat dalam pemilu saja, namun
karena ketertarikannya terhadap dunia politik, menjadikan SI A terlibat dalam
diskusi-diskusi informal tentang tema politik, yang menyebabkannya bisa
berkenalan dengan pejabat-pejabat partai politik. Hal ini menarik minat SI A
untuk aktif di partai politik, ia kemudian meniti keanggotaannya dari mulai
anggota biasa hingga menduduki posisi strategis dalam partai politik, dan
terakhir lembaga legislatif tingkat nasional, hingga ia duduk di sana.
Kedua : hierarki partisipasi politik dari Rush dan Althoff
lebih menekankan pada partisipasi politik konvensial, meskipun mencantumkan
demonstrasi sebagai salah satu. Lebih mencolok lagi mereka tidak mengakui
tindakan-tindakan menyimpang, yang justru bisa jadi memiliki dampak yang lebih
besar terhadap sistem politik.
Seluruh tingkatan partisipasi
politik ini, secara praktis mungkin sekali memiliki perbedaan dalam setiap
sistem politik, antara yang demokratis dengan non-demokratis, karena akan
memiliki implikasi yang besar pada pembatasan-pembatasan partisipasi politik
rakyat, atau perluasan-perluasan partisipasi politik. Selain itu meskipun suatu
sistem politik sama-sama demokratis atau sama-sama non-demokratis,
bentuk-bentuk partisipasi politik dan tingkatan-tingkatannya sangat mungkin
terdapat perbedaan.
Selain itu, terdapat pula satu
catatan yang perlu dikemukakan terhadap asumsi hubungan “berbanding terbalik”
antara intensitas dan lingkup partisipasi politik, karena tidak selamanya
hubungan ini terjadi mengikuti pola tersebut. Artinya mungkin saja terjadi
hubungan “berbanding lurus” untuk partisipasi politik tertentu. Sebagai contoh
kasus reformasi politik di Indonesia, intensitas partisipasi politik yang
tinggi berupa tekanan terhadap suprastruktur politik (Presiden) untuk “turun”
dari jabatannya, ternyata efektif dilakukan melalui demonstrasi-demonstrasi
massa-mahasiswa dalam lingkup atau ukuran skala besar, dan terbukti sangat
berpengaruh terhadap proses politik, yang teruji dengan jatuhnya Rezim Soeharto
di Indonesia tanggal 21 Mei 1998. Hal ini bisa dijelaskan karena adanya “isu
politik bersama” yang diyakini oleh partisipan untuk diperjuangkan, dan
menyebabkannya untuk terlibat dalam partisipasi politik dengan intensitas
tinggi. Artinya, lingkup partisipasi politik yang tinggi, bisa dilakukan juga
dalam intensitas tinggi.
0 komentar:
Posting Komentar