Read more: http://matsspensix.blogspot.com/2012/03/cara-mengetahui-pengunjung-yang-online.html#ixzz1qbhPqjER
Selamat Datang...
Bagi saya didunia maya COPAS itu dihalalkan
Siapa yang keberatan lebih baik jangan sentuh dunia maya !

Selasa, 17 September 2013

KPK : KORUPSI DALAM KOREKSI ( Reski Halomoan )



Sejak zaman orde baru hingga era reformasi yang telah memakan usia hampir setengah abad lamanya, nyatanya republik ini masih saja dibelenggu oleh hasrat materialistis yang hanya ingin memperkaya diri sendiri yaitu korupsi. Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang diberikan oleh rakyat kepada pemegang amanah demokrasi menjadi jembatan maraknya pencurian uang rakyat oleh sekelompok orang yang mengaku bertanah air Indonesia. Menyikapi realita yang terdampar luas dengan carut-marutnya problematika uang rakyat yang tiap detik hilang lembar demi lembar dimakan gajah berdasi, rasanya perlu kita bongkar secara tuntas masalah KPK (Korupsi dalam Koreksi).
Data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2010 menjelaskan bahwa paling tidak ada 183 ke­pala daerah dan 2.176 ang­gota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terinveksi kasus ko­rupsi di Indonesia. Sementara jika kita mengintip data dari Kementerian Dalam Ne­geri (Kemendagri) dari tahun 2004 hingga tahun 2012 tercatat 260 orang gubernur, bupati dan wali kota yang terlibat kasus korupsi, serta 431 orang anggota DPRD provinsi dan 2.553 orang anggota DPRD kabupaten/kota terlibat kasus pencurian uang rakyat atau korupsi. Dengan demikian korupsi yang menjamur dinegeri yang subur ini harus ditindak lanjuti secara cepat dan tepat karena pada kenyataannya korupsi sudah menjadi adat yang kental di blok pejabat negara. Bahkan korupsi telah mendaftarkan jutaan nama rakyat Indonesia kedalam buku tugas malaikat israil “sang pencabut nyawa”.
Kita tidak akan membahas apakah korupsi disebabkan oleh keserakahan (by greed) atau dipicu oleh kebutuhan (by need) seperti yang didengung-dengungkan para pakar hukum dan sosial direpublik ini, karena tidak akan menciptakan solusi yang cerdas melainkan hanya berdalih dari masalah yang dihadapi oleh negara. Mata rantai dari korupsi itu sendiri harus dibongkar dari A sampai Z, korupsi berada diposisi mana, KPK berada disebelah mana. Tegasnya korupsi perlu dikoreksi secara tuntas dan teliti.
Hukum kausalitas yang merupakan anak kandung dari hukum alam adalah alat yang tepat untuk menguak seluruh sisi korupsi. Sebab-akibat (kausalitas) tidak boleh dilupakan karena dari sinilah sebuah permasalahan dapat kita telanjangi secara utuh untuk menciptakan sebuah solusi untuk negeri. Sesungguhnya “korupsi” berada dalam posisi akibat dari sebuah sebab dan “KPK” berada dalam posisi akibat dari akibat sebuah sebab. Sederhananya adalah A maka B maka C (A=sebab, B=akibat A/ korupsi, C=akibat B/ KPK), dari sebuah sebab lahirlah korupsi, bertolak dari korupsi muncullah KPK. Maka jelaslah dimana posisi korupsi dan kpk.
Ketika berbicara masalah korupsi semua orang cenderung hanya menjadikan korupsi dan kpk sebagai subject matter (pokok permasalahan), begitu juga para pemegang kebijakan hanya fokus terhadap KPK ketika berhadapan dengan korupsi. Keseriusan memberantas korupsi di negara ini selalu ditunjukkan dengan mengagung-agungkan KPK. Pada hal, apabila kita berfikir secara jernih sesungguhnya kpk tidak ada apa-apanya. KPK hanya berada pada posisi turunan ke-3/C (Baca: kausalitas) yakni sebagai akibat dari akibat sebuah sebab.
Berdasarkan keberadaan dari posisi KPK, rasanya tidak efektif kalau kita hanya mengandalkan KPK untuk menangani korupsi. Hal ini juga diperkuat oleh sejauh mana KPK mampu menghadapi jutaan kasus korupsi yang terjadi. Karena kemampuan KPK berdasarkan deret hitung sedangkan kasus korupsi yang terjadi mengamalkan deret ukur (KPK=1,2,3,4….., Korupsi = 1,2,4,8,16……). Kemampuan KPK tidak sebanding dengan menjamurnya kasus korupsi yang terjadi. Tegasnya apabila kondisi ini masih dibiarkan dengan status quo nya KPK bisa mati konyol dikerumuni oleh korupsi yang membabi buta.
Obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit kronis negara ini atau korupsi yaitu dengan menangani dan memperbaiki secara tepat apa yang menjadi biang kerok dari korupsi yaitu masalah “sebab”. Kata-kata bijak mengatakan ada asap karena api, untuk mengatasi kepulan asap maka apinya yang harus dimatikan bukan asapnya yang dikantongkan !. Pemerintah nyaris tidak menyentuh apa yang menjadi pemicu atau “sebab” dari mata rantai korupsi malah sebaliknya perhatian hanya tertuju terhadap KPK yang dijadikan jagoan untuk memburu koruptor. Tidak heran kiranya KPK kerepotan dan korupsi tumbuh subur dinegeri pertiwi ini.
Adapun sedikit upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi potensi regenerasi korupsi yaitu dengan melakukan berbagai macam sosialisasi hingga rencana pemasukan mata pelajaran/mata kuliah anti korupsi. Rasanya upaya itu hanya menjadi sebuah solusi yang mengambang, karena meskipun nantinya seluruh anak TK hingga Mahasiswa wajib memperoleh nilai 100 pada mata pelajaran anti korupsi, hal itu akan sia-sia. Toh, pada prakteknya setelah terjun ke lapangan mereka dituntut dan ditekan oleh sistem yang mengharuskan mereka korupsi sehingga meskipun didalam ijazah nilai anti korupsinya 110, tidak akan berdampak apa-apa kecuali hanya tinggal goresan tinta yang indah.
Kita harus blak-blakan mengupas sistem yang telah rusak parah. Nyatanya undang-undang masih bersikap banci dalam membrantas korupsi, dengan kata lain UU kaku,setengah hati,ragu-ragu dalam menempatkan diri. Sebenarnya penyebab yang paling berpotensi menimbulkan korupsi adalah biaya demokrasi yang dikeluarkan untuk mencapai singgasana amanah demokrasi.
Lemahnya sikap UU dapat dibuktikan dengan mengintip UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Terutama pasal 131 sampai dengan pasal 133 tentang dana kampanye, secara jelas masih melegalkan dan mendukung biaya demokrasi calon yang begitu besar bahkan tidak seimbang dengan gaji yang ditetapkan oleh negara. Poin inilah yang menyumbang potensi paling besar terhadap kasus korupsi yang mengancam bangsa ini kedepan. Meskipun demikian UU tidak bisa disalahkan akan tetapi yang patut dipersalahkan adalah orang yang membuat UU. Undang-undang harus tegas dalam menyikapi dana kampanye yang begitu menggunung yang berpotensi besar memicu korupsi.
        Korupsi dalam koreksi menekan pada sisi “sebab” yakni tuntutan sistem yang telah rusak parah akibat UU yang tidak bijaksana dalam mengatur seluruh aspek mulai dari A hingga Z dalam tatanan pesta demokrasi. Peran KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi mutlak dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus yang memiskinkan rakyat, KPK harus dibangun sekokoh-kokohnya. Sejalan dengan itu, penyebab terjadinya korupsi harus menjadi masalah utama yang harus ditangani dengan sikap UU yang tegas dan jantan dalam membrantas korupsi. Jika penyebab korupsi dapat dikontrol dengan baik, Fungsi KPK berjalan sesuai harapan rakyat maka langkah Indonesia menuju negara yang bebas korupsi semakin mudah dan pasti.