Sejak
zaman orde baru hingga era reformasi yang telah memakan usia hampir setengah
abad lamanya, nyatanya republik ini masih saja dibelenggu oleh hasrat
materialistis yang hanya ingin memperkaya diri sendiri yaitu korupsi.
Penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir) yang diberikan oleh rakyat kepada pemegang amanah
demokrasi menjadi jembatan maraknya pencurian uang rakyat oleh sekelompok orang
yang mengaku bertanah air Indonesia. Menyikapi realita yang terdampar luas
dengan carut-marutnya problematika uang rakyat yang tiap detik hilang lembar
demi lembar dimakan gajah berdasi, rasanya perlu kita bongkar secara tuntas
masalah KPK (Korupsi dalam Koreksi).
Data yang diperoleh dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tahun 2010 menjelaskan bahwa paling tidak ada 183 kepala daerah dan 2.176 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terinveksi kasus korupsi di Indonesia.
Sementara jika kita mengintip data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
dari tahun 2004 hingga tahun 2012 tercatat 260 orang gubernur, bupati dan wali
kota yang terlibat kasus korupsi, serta 431 orang anggota DPRD provinsi dan
2.553 orang anggota DPRD kabupaten/kota terlibat kasus pencurian uang rakyat
atau korupsi. Dengan demikian korupsi yang menjamur dinegeri yang subur ini
harus ditindak lanjuti secara cepat dan tepat karena pada kenyataannya korupsi
sudah menjadi adat yang kental di blok pejabat negara. Bahkan korupsi telah
mendaftarkan jutaan nama rakyat Indonesia kedalam buku tugas malaikat israil
“sang pencabut nyawa”.
Kita tidak akan membahas apakah korupsi disebabkan oleh
keserakahan (by greed) atau dipicu oleh kebutuhan (by need) seperti yang
didengung-dengungkan para pakar hukum dan sosial direpublik ini, karena tidak
akan menciptakan solusi yang cerdas melainkan hanya berdalih dari masalah yang
dihadapi oleh negara. Mata rantai dari korupsi itu sendiri harus dibongkar dari
A sampai Z, korupsi berada diposisi mana, KPK berada disebelah mana. Tegasnya
korupsi perlu dikoreksi secara tuntas dan teliti.
Hukum kausalitas yang merupakan anak kandung dari hukum alam
adalah alat yang tepat untuk menguak seluruh sisi korupsi. Sebab-akibat
(kausalitas) tidak boleh dilupakan karena dari sinilah sebuah permasalahan
dapat kita telanjangi secara utuh untuk menciptakan sebuah solusi untuk negeri.
Sesungguhnya “korupsi” berada dalam posisi akibat dari sebuah sebab dan “KPK”
berada dalam posisi akibat dari akibat sebuah sebab. Sederhananya adalah A maka
B maka C (A=sebab, B=akibat A/ korupsi, C=akibat B/ KPK), dari sebuah sebab
lahirlah korupsi, bertolak dari korupsi muncullah KPK. Maka jelaslah dimana
posisi korupsi dan kpk.
Ketika berbicara masalah korupsi semua orang cenderung hanya
menjadikan korupsi dan kpk sebagai subject matter (pokok permasalahan), begitu
juga para pemegang kebijakan hanya fokus terhadap KPK ketika berhadapan dengan
korupsi. Keseriusan memberantas korupsi di negara ini selalu ditunjukkan dengan
mengagung-agungkan KPK. Pada hal,
apabila kita berfikir secara jernih sesungguhnya kpk tidak ada apa-apanya. KPK
hanya berada pada posisi turunan ke-3/C (Baca: kausalitas) yakni sebagai akibat
dari akibat sebuah sebab.
Berdasarkan keberadaan dari posisi KPK, rasanya tidak efektif
kalau kita hanya mengandalkan KPK untuk menangani korupsi. Hal ini juga
diperkuat oleh sejauh mana KPK mampu menghadapi jutaan kasus korupsi yang
terjadi. Karena kemampuan KPK berdasarkan deret hitung sedangkan kasus korupsi
yang terjadi mengamalkan deret ukur (KPK=1,2,3,4….., Korupsi = 1,2,4,8,16……).
Kemampuan KPK tidak sebanding dengan menjamurnya kasus korupsi yang terjadi.
Tegasnya apabila kondisi ini masih dibiarkan dengan status quo nya KPK bisa
mati konyol dikerumuni oleh korupsi yang membabi buta.
Obat yang paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit kronis
negara ini atau korupsi yaitu dengan menangani dan memperbaiki secara tepat apa
yang menjadi biang kerok dari korupsi yaitu masalah “sebab”. Kata-kata bijak
mengatakan ada asap karena api, untuk
mengatasi kepulan asap maka apinya yang harus dimatikan bukan asapnya yang
dikantongkan !. Pemerintah nyaris tidak menyentuh apa yang menjadi pemicu atau
“sebab” dari mata rantai korupsi malah sebaliknya perhatian hanya tertuju
terhadap KPK yang dijadikan jagoan untuk memburu koruptor. Tidak heran kiranya
KPK kerepotan dan korupsi tumbuh subur dinegeri pertiwi ini.
Adapun sedikit upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi
potensi regenerasi korupsi yaitu dengan melakukan berbagai macam sosialisasi
hingga rencana pemasukan mata pelajaran/mata kuliah anti korupsi. Rasanya upaya
itu hanya menjadi sebuah solusi yang mengambang, karena meskipun nantinya
seluruh anak TK hingga Mahasiswa wajib memperoleh nilai 100 pada mata pelajaran
anti korupsi, hal itu akan sia-sia. Toh, pada prakteknya setelah terjun ke
lapangan mereka dituntut dan ditekan oleh sistem yang mengharuskan mereka
korupsi sehingga meskipun didalam ijazah nilai anti korupsinya 110, tidak akan
berdampak apa-apa kecuali hanya tinggal goresan tinta yang indah.
Kita harus blak-blakan mengupas sistem yang telah rusak parah.
Nyatanya undang-undang masih bersikap banci dalam membrantas korupsi, dengan
kata lain UU kaku,setengah hati,ragu-ragu dalam menempatkan diri. Sebenarnya
penyebab yang paling berpotensi menimbulkan korupsi adalah biaya demokrasi yang
dikeluarkan untuk mencapai singgasana amanah demokrasi.
Lemahnya sikap UU dapat dibuktikan dengan mengintip UU No 8
Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Terutama pasal 131 sampai
dengan pasal 133 tentang dana kampanye, secara jelas masih melegalkan dan
mendukung biaya demokrasi calon yang begitu besar bahkan tidak seimbang dengan
gaji yang ditetapkan oleh negara. Poin inilah yang menyumbang potensi paling
besar terhadap kasus korupsi yang mengancam bangsa ini kedepan. Meskipun
demikian UU tidak bisa disalahkan akan tetapi yang patut dipersalahkan adalah
orang yang membuat UU. Undang-undang harus tegas dalam menyikapi dana kampanye
yang begitu menggunung yang berpotensi besar memicu korupsi.
Korupsi dalam koreksi menekan pada sisi “sebab” yakni tuntutan sistem yang
telah rusak parah akibat UU yang tidak bijaksana dalam mengatur seluruh aspek
mulai dari A hingga Z dalam tatanan pesta demokrasi. Peran KPK sebagai lembaga
pemberantas korupsi mutlak dibutuhkan untuk menangani kasus-kasus yang
memiskinkan rakyat, KPK harus dibangun sekokoh-kokohnya. Sejalan dengan itu,
penyebab terjadinya korupsi harus menjadi masalah utama yang harus ditangani
dengan sikap UU yang tegas dan jantan dalam membrantas korupsi. Jika penyebab
korupsi dapat dikontrol dengan baik, Fungsi KPK berjalan sesuai harapan rakyat
maka langkah Indonesia menuju negara yang bebas korupsi semakin mudah dan
pasti.